Kisah tentang Logam Pembuka

Kami adalah kumpulan makhluk yang dibungkam kekompakan, kami adalah saudara yang terasingkan oleh uang dan logam pembuka. Kami tak akan diam hingga kami tahu, seberapa baikkah kami? Bisa-bisanya kami menolak untuk menukar uang dengan logam pembuka.
Kami sama saja dengan kalian di hari-hari biasanya. Kita sama-sama pandai mencuri dan membagi rata semuanya. Kita melempar sesuka hati pundi-pundi itu di tempat yang menguntungkan, lalu kita ambil kembali, kita tinggal menghabiskannya. Kita sama saja, karena kita semua punya kesempatan untuk melakukannya.

Namun tentang itu, sekali lagi kami berpikir, maka kami akan merasa bahwa kami diawasi.
Sekali lagi kami merenung, maka kami akan merasa tidak berguna.
Dan sekali lagi kami berpikir tentang resikonya, maka kami akan merasa sakit.
Kami di masa depan bukan lagi sebuah objek, tapi subjek. Apakah pantas subjek-subjek kotor seperti kami berhamburan meluluh lantahkan apa yang dibangun leluhur? Mengingatnya, kami jadi khawatir, kuatkah kami pada harta? Berdayakah kami melawan tahta?
Kami jadi terbayang, apa yang akan kami ajarkan pada anak-anak kami? Apakah kami memiliki hati yang teguh untuk bercerita kebodohan kami? Apakah mulut kami akan menyemburkan ribuan kata dusta?

Kami mengaku beriman, tapi bagaimana jika mulut-mulut kami menjadi kelemahan kami yang menggerogoti iman? Kami sejenak akan berpikir bahwa taubat itu mudah. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang kami singkirkan karena ulah kami? Bagaimana kami akan menemukan potongan puzzle yang hilang dari nasib-nasib mereka? Kami sejenak berfikir bahwa hal itu sudah mengalir dalam lauh mahfuz. Tapi apakah lauh mahfuz akan menghapus dosa kami? Kami tidak mengerti, akal kami rendah, logika kami tak runtut.

Keadilan? Apakah semua orang harus memiliki kesempatan yang sama? Jika harus, bagaimana manusia ini mewujudkannya? Karena di muka bumi ini seharusnya tak ada manusia yang sama dengan kesempatan, kebiasaan dan perjuangan yang berbeda. Ya Allah, berikanlah kami sesuatu yang baik, bagi hidup kami, agama kami, akhir hidup kami dan akhirat kami.

Sekali lagi kami ingat, maka akan terasa sakit. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cetak Biru Kasih Sayang untuk Suamiku

Tidak Special di Society, tapi Mustika di Hati

Ibuku yang Telah Bersayap