Ibuku yang Telah Bersayap

Siapa sebenarnya kamu Budhe?
Saat Ibuku tak ada di rumah selama berbulan-bulan, kau menggantikannya.
"Nikeeen, Nikeeen..." Panggilmu dari jendela kamar.
Kadang aku tak mendengarnya, engkau malah menghampiri ke rumah, berjalan terhuyung-huyung membawa senampan makanan bagi aku dan adik kesayanganmu itu. Katamu lututmu linu, nafasmu sesak, kenapa mau? Kenapa tak menunggu sampai kami kelaparan, jika lapar kami akan mencarimu ke rumah.

Siapa sebenarnya kamu Budhe?
Saat itu aku pulang dari kemah besar, aku pulang dalam keadaan sakit. Ibu dan Bapak sedang keluar kota. Engkau datang merawatku tanpa aku minta.
"Bukankah badanku bau keringat Budhe? Biarkan aku mandi dulu."
"Jangan, nanti malah tambah sakit."
Katamu sambil mengompresku dengan daun dhadhap srep kau kau petik sendiri.

Katanya saat itu kau berkata, "Ya Allah aku akan meninggal, Ya Allah." Bahagianya aku, mengetahui orang yang aku sayang menemui pencipta-Nya dengan terus menyebut nama-Nya. Tapi yang aku pertanyakan, apa aku tak spesial bagimu, hingga aku tak diberi kesempatan untuk melihat ruhmu pergi?

*

Saat itu aku sedang mengikuti Try Out di tempat les, biasa, aku pulang saat maghrib. Namun yang berbeda adalah kelamnya. Kelam yang muncul dari cahaya terang. Apakah ada acara kondangan? Kondangan apa memangnya. mobil dan motor berjajar parkir di sepanjang jalan.Tapi, aku sadar ini bukan acara yang bahagia, tamu ada yang baru datang, ada yang pergi. Bajunya berwarna gelap? Siapa yang pergi?

Aku mengirim chat ke grup hawa kelasku "Aku takut" Karena aku memang benar-benar takut, aku masuk kamar dan menguncinya, mendengarkan lagu dengan headset. Aku tidak ingin mendengar kabar apapun yang menyedihkan. Tapi tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Aku membukanya "Ndhuk, Budhe seda."
Muka dingin Ayahku menghancurkanku. Aku coba untuk menahannya, tapi tenggorokanku makin sesak.
"Kenapa Pak?" Aku mencoba cari tahu alasannya.
"Aku juga ndak tau, tadi aku di sawah ditelfon suruh ke puskemas. Aku sudah ndak ketemu Budhemu." Ia mengatakannya dengan wajah sungguh tabah.
Aku langsung berlari ke rumah Budhe (walaupun besok ia akan pergi dari rumahnya, how to say).

Saudara-saudaraku ku langsung datang memelukku. "Kamu besok masak sendiri ya.". Aku hanya mengangguk, sebisa mungkin aku tak menangis di depan mereka. Aku hanya merasa kurang beruntung karena ditinggal tanpa firasat, tanpa riwayat. Mudah sekali beliau pergi.

Malam itu itu aku diberi kesempatan tidur di kamarnya. Barang-barangnya masih tertata rapi di kamarnya. Kipas anyam, kaca mata, tali rambut. Mengingat tentang tali rambut, aku jadi ingat kemiripan kami. Di silsilah keluargaku, hanya kamilah yang rambutnya tidak lurus. "Dasar anak Budhe!" banyak yang mengatai aku begitu. Semalam aku mengenang beliau di kamarnya. Mengingat masa kecil saat aku sedang tak ada teman untuk main, aku ke rumah budhe dan menemaninya masak, mengacak-acak peralatan dandannya.

*

Aku sempat melihat semua sanak saudara menangis, kecuali satu orang, Ayahku. Mungkin banyak orang juga yang mempertanyakan, adik macam apa dia ini? Mbakyunya meninggal dia malah senyum menyambut tamu. Ketika datang ke puskemas melihat Budhe sudah tak ada pun, reaksinya hanya "Astagfirullah mbakku, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un".

Cukup? Begitu saja? Apakah kurang berarti masa kecilmu dengan mbakyumu, tempatmu bermanja. yang menutupi telingamu saat kau takut pada suara tembakan-tembakan saat negeri kita dulu belum stabil. Dia berlari menggendongmu ke mana pun. Saat Ibu kalian berdagang ke pasar, kalian menghabiskan waktu berdua.
Kakakmulah yang memelukmu erat saat Ayah kalian meninggal. Saat kau polos bertanya "Bu, di mana Bapak? Biasanya tidur di kamar ini." Hanya kakakmulah yang mempunayi keberanian untuk menjelaskan bahwa Ayahmu tak akan kembali. Saat Istrimu dan anak perempuanmu melahirkan, kakakmu setiap hari sibuk berkutat dengan alu dan lesung membuatkan mereka jamu herbal. Mana ada orang setelaten itu di zaman sekarang? Dan kau ayah, kesedihanmu kurang pantas.

*

Malam hari setelah pemakaman, Ibuku dan keluarga kakakku baru datang dari Jakarta. Baru saat itulah, aku tahu ayahku menemui ibuku, mengungkapkan segala kesedihannya dan menceritakan semua kenangan yang dia ingat bersama kakak kesayangannya. Sekuat-kuatnya, sedatar-datarnya, sekaku-kakunya, ia adalah sosok berbeda di depan wanitanya.

Kami akan merindukanmu, kami sayang padamu, sekarang kenakanlah sayapmu...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cetak Biru Kasih Sayang untuk Suamiku

Tidak Special di Society, tapi Mustika di Hati