Lebih dari Separuh yang Bahagia, Sisanya?

(Ditulis pada tahun 2014)

      Suksesi kepemimpinan adalah hal yang tak terhindarkan dan harus dilakukan sebagai bentuk kepatuhan. Keharusannya telah tertulis dalam UUD 1945 yang merupakan bagian dari pilar kebangsaan. Agar bukan anak bangsa itu saja yang memegang pemerintahan. Kita bangsa Indonesia sepakat memberi kesempatan putra bangsa lain yang mampu untuk mengendalikan Negara kesayangan.
      Pilpres tahun 2014 telah diselenggarakan. Berupa ajang untuk mencari pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk memimpin Indonesia selama sepuluh tahun. Pada 9 Juli lalu, yang bernama ‘rakyat Indonesia’ telah memiliki tiga sub nama. Rakyat Indonesia pendukung nomor 1, rakyat Indonesia pendukung nomor 2 dan rakyat Indonesia golongan putih. Seharusnya 3 sub nama itu segera menyatu kembali setelah proses pilpres usai. Bangsa besar ini sepatutnya menjelma kembali menjadi bangsa yang utuh dan erat persaudaraannya. Yang patuh pada sila sakti ke-3. Kita yang demokratis sangat menghargai rakyat yang mau menyumbang suara. Kita yang membiarkan jari tetap putih, tak mau turut memperpanas atmosfer suasana.
      Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pemenang pilpres 22 Juli lalu, lebih dari separuh rakyat Indonesia berbahagia, karena Presiden yang akan menjalankan roda kepemimpinan lima tahun ke depan adalah orang yang mereka kehendaki. Inilah alur demokrasi yang tepat, mengikuti kehendak kebanyakan rakyat. Jika alur demokrasi sudah tepat, tapi mengapa gaung perbedaan masih terasa? Apa yang luput dari pandangan kita? Jangan hanya terlarut pada euforia, kita perlu menilik, hampir separuh dari rakyat Indonesia bersedih karena sosok pilihannya tak akan menghuni Istana. Jumlah yang sangat besar, walaupun tidak lebih banyak daripada yang berbahagia. Namun janganlah kita bersikap tak acuh.
      Rakyat yang sosok pilihannya menang dalam pilpres, hendaknya merangkul saudaranya yang lain. Meyakinkan mereka bahwa Tuhan mempunyai rencana baik bagi bangsa melalui amanah yang dititipkan pada Presiden dan Wakil Presiden baru kita. Pemilu sering dijuluki pesta demokrasi. Jika pesta berjalan lancar sesuai rencana, bukankah semua peserta pesta harusnya bahagia? Maka, jangan merenggut kebahagiaan saudara kita dengan memperolok pilihan mereka.Jangan sampai menganggap kemenangan ini milik kaum mayoritas sendiri. Kemenangan ini harusnya dinobatkan sebagai kemenangan bangsa. Jangan sampai merelakan integrasi bangsa kita dicabik-cabik oleh apatisme pada pemilih minoritas, yang merupakan puluhan juta dari kita.
      Rakyat yang pemimpin harapannya belum terpilih, hendaknya menerima hukum demokrasi dengan ikhlas dan tetap positive thinking pada Presiden terpilih. Yakinlah, Presiden juga bekerja untuk kesejahteraan kita. Jika sang Presiden bertindak benar, dukunglah. Jika beliau salah, berilah kritik yang disertai saran. Aspirasi kita bukanlah suatu keharaman bagi roda pemerintahan. Partisipasi dan antusiasme yang tinggi dari rakyat dalam pemerintahan akan memantapkan jalannya demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
   Figur pilihanUntitled mereka boleh berbeda, namun bukankah tujuan diselenggarakannya pilpres adalah menyatukan perbedaan pilihan tanpa memantik permusuhan? Bukankah Presiden mereka akhirnya hanya satu? Presiden Indonesia yang akan memimpin bangsa Indonesia, bukan Presiden yang memimpin pendukungnya saat pilpres saja. Namun masih kita jumpai fakta pedih dan ironi bahwa fanatisme yang berlebihan dapat mengusik persatuan dan kesatuan bangsa. Bukankah sila ke-3 mempunyai makna tersirat, bahwa kepentingan bangsa kedudukkannya adalah di atas kepentingan golongan. Itulah yang dimaksud akar persatuan. Kita yang peduli pada nasib bangsa harus menumbuh kembangkan suasana kondusif bagi pembangunan bangsa yang seutuhnya. Pembangunan itu merupakan proses mewujudkan negara makmur yang kita impikan selama ini.
      Persatuan dan kesatuan adalah dua elemen penting yang sedari dulu diutamakan oleh para negarawan. Bisa kita lihat dari bunyi semboyan kita, Bhineka tunggal ika. Berbeda-beda namun tetap satu jua. Dan dapat kita jumpai juga dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, terdapat lirik “Marilah kita berseru, Indonesia bersatu!”. Belum lagi dalam lima dasar kita, Pancasila. Persatuan adalah hal dasar yang mengikat kita menjadi satu Indonesia.Resapilah nilai-nilai Pancasila dalam jiwamu, dan implementasikan pada momen kali ini. Jangan ada kesedihan yang tercipta di hati sesama pasca pemilu ini. Jika lebih dari separuh rakyat Indonesia bahagia, maka sisanya juga harus dirangkul untuk berbahagia.  Tak ada lagi yang namanya separuh, yang ada hanyalah SATU.
      Agustus mendatang, Negara kita akan segera berusia 69 tahun. Presiden ke-7 telah hadir di depan kita, akan melenggang ke kursi kepemimpinan. Marilah kita dukung pemimpin baru kita. Harapan saya untuk bangsa yang saya cintai ini, semoga persatuan dan kesatuan bangsa selalu terjaga dan terwariskan pada generasi-generasi berikutnya. Karena itulah kunci utama untuk mewujudkan negeri kita menjadi negara kunci dunia pada masa yang akan datang.
    Itulah ratusan kata yang tertata sebagai opini saya, selaku generasi muda yang cinta mati pada Indonesia. Semoga dapat menyulut kembali semangat persatuan kita. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Indonesia! (Niken Kusuma)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cetak Biru Kasih Sayang untuk Suamiku

Tidak Special di Society, tapi Mustika di Hati

Ibuku yang Telah Bersayap