Beberapa Baris Beban

Beberapa tahun lalu......

AYAH

Aku dilahirkan untuk menang.
Aku terlihat sombong bukan? Ambisius? Ya. Ringan sekali hidupku, penuh keberuntungan, Alhamdulillah.

Tapi itu bukanlah sekedar keberuntungan, aku juga punya yang namanya perjuangan. Panggil saja aku “Gadis Jam 2 Pagi” setiap jam itu aku bangun untuk menyusun kembali kehidupanku, aku tulis target-targetku dalam buku manajemen hidupku. Bagaimana menjadi anak yang membanggakan bagi orang tua? Bagaimana menjadi wanita yang baik bagi suamiku kelak? Dan bagaimana aku harus mendidik anak-anakku nanti di tengah kemelut pengahancuran zaman. Aku merenung, berfikir keras. Aku harus bisa

Sekarang aku ingin ceritakan pada kalian, pembaca yang kumohon bisu, bagaimana aku akan membahagiakan orang tua ku.

Ayahku seorang yang tak pernah dikenang peluhnya, jasanya, montang-mantingnya. Dia dahulu memang tak bisa mengoperasikan laptop dan secanggih Kepala Desa lainnya. Tapi ia menyeret sebuah derap langkah pemimpin di kakinya.

Suatu hari.......

Pak nanti mencalonkan lagi nggih, akan saya pilih.” pinta seorang petani. Guratan kulitnya memperkenalkan siapa dia. Rakyat kecil yang merindukan kebaikan duniawi.
Insya Allah Pak.”

*

Tapi sang rakyat kecil harus kecewa, ayahku tidak terpilih lagi menjadi pemimpinnya, aku fikir itu tidak masalah. Lagipula ayahku tidak gila jabatan. Ia malah punya nyali menenangkan puluhan pendukungnya yang menangis sedih. Hebat gila mental ayahku itu. Siang divonis kalah, malamnya karawitan di rumah.
Tapi aku tau betul ada sebuah kerugian besar di dalamnya. Yang membuat Ibuku kelepasan menangis di depanku. Ada

Sekarang ayahku bekerja di sebuah instansi ternama di Kabupatenku.
Nduk ajari aku memakai laptop ya.”
Kalau 'sekarang' nggak bisa pak. Tugas sekolahku banyak.”
Bapak tuh malu lo nduk kerja gak bisa laptop sendiri. Cuma duduk aja sambil menghibur pekerja lainnya.”
Iya-iya pak nanti ya.”

*

Entah bagian mana dari hatiku yang malam ini seketika hancur mengingatnya. Harga diri ayahku dipertaruhkan setiap hari di hadapan pekerja lainnya. Ia menyimpan rasa malu setiap hari. Dan aku belum bisa mengentaskannya. Si tua yang duduk di pojok tak bisa apa-apa. Dengan jaket kumalnya yang ia beli dari pedangang kaki lima di Jakarta. Aku, Ibuku dan Kakakku diberi pakaian yang sebaik-baiknya. Namun yang dipakainya itu jaket bekas, sedikit kebesaran bagi tubuhnya yang tidak begitu gagah. Belum lagi kenyataan yang beliau hadapi. Kebanyakan orang hanya menghargai sebuah jabatan.miris.

*

Malam ini aku kembali bangun jam 2 pagi. Rintihan itu masih sama. Kesakitan. Ku buka sedikit pintu kamarku. Terhuyung-huyung ia memeluk pundaknya. Merintih lagi.



IBU

Saat aku perhatikan tangannya, ada luka.
“Bu, itu kenapa?”
“kemarin nyuci, ibuk terlalu semangat nyucinya ternyata di saku bapak ada tusuk gigi.”

Ya Tuhan... Aku tahu sekali bagaimana lelahnya ibuku yang selalu tekun mengurus kebun dan ladangnya, mengurus rumah walaupun sebenarnya bisa menyewa pekerja. Ia wanita yang tak pernah takut panas walaupun flek hitam menjadi topengnya. Kecantikannya yang perkasa selalu ada. Dan parahnya aku hanya bisa membantunya sedikit karena terlena tugas sekolah. Jika seorang pemuda yang menggendong ibu nya ke mana-mana dan tak pernah bermuka masam saja, kata Rasulullah belum bisa membalas satu hela nafasnya. Lalu aku?

Hari itu aku berjanji. Akan ku belikan ibuku mesin cuci, agar aku tak melihat luka itu lagi. Agar ibuku bisa punya waktu istirahat lebih banyak lagi....

Aku memulai berbagai macam bisnisku.

Seorang petani akan mendapatkan cobaan hama, seorang calon pembuat kebijakan publik akan mendapatkan keadaan krisis yang berpeluang.


Sukses untuk saya dan sahabat-sahabat tercinta yang juga didoakan oleh orang tua saya.
semoga saya dilahirkan memang untuk menang, sesuai nama saya KUSUMA
semoga saya dilahirkan untuk memberi manfaat sesuai nama saya ANNAFI'

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cetak Biru Kasih Sayang untuk Suamiku

Tidak Special di Society, tapi Mustika di Hati

Ibuku yang Telah Bersayap